AHIM TV-Armiadi bin Rusli kini bisa bernafas lega. Buruh harian lepas di Dinas Pariwisata Kota Sabang, ini tak jadi duduk di kursi persidangan. Hal itu setelah Kejari Sabang menghentikan penuntutan perkara pencurian mesin tempel perahu boat dilakukan Armiadi. Kasus itu disetop setelah Jaksa mengedepankan keadilan restoratif terkait perkara pencurian tersebut.
Ada beberapa pertimbangan Jaksa menghentikan penuntutan terhadap Armiadi. Pertama tersangka belum pernah melakukan tindak kejahatan. Pencurian dilakukan Armiadi juga dilakukan untuk biaya pengobatan ibunya. Pertimbangan lainnya kasus yang menjerat Armiadi merupakan perkara ringan dengan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 tahun.
Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sabang juga telah melakukan upaya mediasi antara tersangka dan korban. Akhirnya pihak korban bersedia berdamai dan memaafkan tersangka. Penuntutan perkara tersebut akhirnya dihentikan.
13 Kasus Dihentikan
Proses keadilan restoratif yang ditempuh Kejaksaan tak hanya berlaku terhadap Armiadi. Tercatat ada 13 permohonan penghentian penuntutan kasus secara keadilan restoratif (restorative justice) yang disetujui Kejaksaan Agung (Kejagung).Alasan Kejagung mengabulkan permohonan penghentian penuntutan karena. Para Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana atau belum pernah dihukum.
Termasuk, kasus tersebut hanya didakwakan dengan pasal ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun. Terlebih, antara korban dan tersangka telah dilaksanakan proses perdamaian
"Dari hasil ekspose, disetujui tiga belas permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana dalam keteranganya dikutip, Senin (7/3).
Penghentian penuntutan belasan perkara itu juga sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor 01 tanggal 10 Februari 2022, sebagai perwujudan kepastian hukum.
Pasal 5 dalam peraturan diterbitkan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyatakan bahwa penyelesaian perkara bisa diselesaikan secara restorative justice dan harus memenuhi berbagai persyaratan.
Pertama perkara dapat dihentikan apabila tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari lima tahun. Kemudian, nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah.
Jaksa Agung Pertimbangan Kasus Korupsi di Bawah Rp50 Juta Tak Dipidana
Upaya keadilan restoratif juga dipertimbangkan saat menangani perkara korupsi memiliki nilai kerugian relatif kecil atau di bawah Rp50 juta. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menilai perkara korupsi di bawah Rp50 juta adalah bentuk kerugian negara yang dilakukan secara legal.Dia mencontohkan perkara korupsi yang terjadi khususnya di wilayah Indonesia bagian timur dan daerah kepulauan. Menurut dia, proses pemeriksaan dan persidangan di daerah yang harus ditempuh melalui jalur darat, laut, dan udara sekaligus untuk menuju ibu kota provinsi memakan biaya operasional tinggi namun tak sesuai dengan kerugian negara hendak diselamatkan.
"Penanganan perkara korupsi berskala kecil tersebut juga bukanlah capaian yang patut dibanggakan, bahkan terkadang cenderung tidak dapat diterima oleh masyarakat,” kata Burhanuddin saat menjadi pembicara kunci dalam diskusi publik bertema “Keadilan Restoratif: Apakah Korupsi Rp50 juta Perlu dipenjara?” yang dipantau melalui zoom meeting di Jakarta, Selasa (8/3).
Dia menyebutkan, dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan keadilan restoratif ini dimungkinkan dapat diterapkan untuk para pelaku tindak pidana korupsi yang perbuatannya tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara maupun yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun dengan nominal kerugian yang kecil.
"Setiap orang berhak mendapatkan keadilan hukum, sehingga keadilan hukum tidak dapat diberikan hanya untuk golongan tertentu saja. Hal ini tentunya dengan tetap memperhatikan kualitas, jenis, dan berat ringannya suatu perkara. Dengan prinsip keadilan untuk semua dan hukum untuk manusia,” ujarnya.
Korupsi Kejahatan Finansial
Menurut dia, tindak pidana korupsi yang pada dasarnya adalah kejahatan finansial, sehingga penanggulangannya akan lebih tepat jika pendekatannya mempergunakan instrumen finansial. Adapun pendekatan instrumen finansial yang dilakukan selama ini antara lain mengubah pola pendekatan dari follow the suspect menjadi follow the money dan follow the asset.
Dia mengatakan, pemiskinan koruptor dengan melakukan perampasan aset koruptor melalui asset tracing guna pemulihan kerugian keuangan negara, sehingga penegakan hukum tidak sekedar pemidanaan badan, tetapi juga bagaimana kerugian keuangan negara yang dapat dipulihkan secara maksimal.
Kemudian, melakukan gugatan keperdataan terhadap pelaku yang telah meninggal dunia atau diputus bebas, namun secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
Burhanuddin melanjutkan, melalui pendekatan instrumen finansial, maka proses pemberantasan tindak pidana korupsi perlu mempertimbangkan beban ekonomi negara untuk biaya proses penegakan hukum, termasuk biaya hidup dan pembinaan narapidana pascaputusan inkracht.
“Hal ini selaras dengan teori economisc analysis of law yang saat ini mulai berkembang,” ujar dia.
ekonomi negara untuk biaya proses penegakan hukum, termasuk biaya hidup dan pembinaan narapidana pascaputusan inkracht.
“Hal ini selaras dengan teori economisc analysis of law yang saat ini mulai berkembang,” ujar dia.
Teori ini kata dia menjelaskan bahwa untuk menciptakan proses penegakan hukum secara efisien maka harus mempertimbangkan nasionalitas perhitungan biaya penanganan tindak pidana korupsi dari mulai penyelidikan hingga pelaksanaan putusan inkracht. Sehingga negara tidak mengalami peningkatan jumlah kehilangan keuangan negara akibat perbuatan korupsi yang telah dilakukan pelaku, akan bertambah dengan biaya-biaya penanganan perkara yang dilakukan aparat penegak hukum.
Teori ini juga menurut Burhanuddin, sejalan dengan konsep keadilan restoratif dalam mewujudkan sistem peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan yang dapat menghemat anggaran.
“Dengan memperhitungkan anggaran secara cermat secara cermat maka aparat penegak hukum dapat lebih fokus kepada perkara korupsi yang besar, yang membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit,” ujarnya.
Namun Burhanuddin mengatakan patut menjadi bahan diskursus bersama, apakah perkara korupsi merugikan keuangan negara dengan nominal kerugian relatif kecil seperti di bawah Rp50 juta harus dilakukan penjatuhan sanksi pidana atau dapat menggunakan mekanisme penjatuhan sanksi lain.
“Misalnya tindak pidana korupsi yang terjadi di Kota Pontianak dalam perkara pungutan liar atau pungli dengan nilai Rp2,2 juta. Apakah perkara pungli tersebut harus diproses dan disidangkan dengan mekanisme hukum tindak pidana korupsi? ini kan jadi suatu pertanyaan untuk kita,” ujar dia.
Penegakan Hukum Pengaruhi Kepercayaan Masyarakat
Lebih dalam ia mengatakan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum justru dapat menurun karena kualitas penanganan perkara yang dilakukan hanya berada di “level ikan teri” dan dianggap aparat penegak hukum tidak mampu untuk melawan para koruptor dalam skala big fish.Hal lain yang perlu dipahami, lanjut dia, adalah menyamakan kasus korupsi Rp50 juta dengan pencurian Rp5 juta. Dua kasus ini tidaklah sama atau tidak apple to apple. Kasus korupsi adalah tindak pidana khusus yang memiliki mekanisme yang lebih kompleks dan memerlukan biaya tinggi, serta pihak yang dirugikan adalah negara.
Ia pun mengatakan pada dasarnya negara sebagai korban memiliki kapasitas menghukum pelaku yaitu dengan menggunakan mekanisme atau instrumen lain di luar sanksi penjara, tentunya suatu instrumen yang memiliki kaidah keadilan, namun bersifat ekonomis karena negara justru rugi lebih banyak jika harus menghukum pelaku hingga masuk ke penjara.
“Jika ini tetap dipaksakan, masyarakat secara tidak langsung akan menjadi korban sekunder, karena uang negara yang seharusnya dapat disalurkan ke kesejahteraan masyarakat dapat terkuras habis hanya untuk perkara korupsi level ikan teri,” kata Burhanuddin.
Burhanuddin menambahkan, penjatuhan sanksi pidana, khususnya penjara bukanlah upaya balas dendam, melainkan proses edukasi pemasyarakatan dan penjeraan yang bertujuan agar pelaku menyadari kesalahan atas perbuatannya, sehingga penjatuhan pidana adalah upaya terakhir.
Sanksi pidana tidak harus selalu berupa penjara. Terdapat beberapa sanksi lain yang dapat diterapkan oleh para pelaku tindak pidana korupsi “kelas ikan teri” tersebut, misalnya dengan sanksi pidana denda yang setimpal, pencabutan hak-hak tertentu, atau perampasan barang.
Kejaksaan juga dapat memberikan rekomendasi kepada para pemangku kepentingan terkait untuk memberikan sanksi administrasi kepegawaian, misalnya penundaan pangkat hingga pemecatan. Di samping itu, bagi pihak swasta dapat dilakukan pembekuan, pembubaran, atau black list sehingga tidak dapat lagi mengikuti pengadaan barang dan jasa milik negara.
“Menjatuhkan sanksi pidana secara tepat dan sesuai porsi adalah langkah bijak dalam mengayunkan pedang keadilan,” kata Burhanuddin.
Tetap Beri Efek Jera
Upaya Kejaksaan dengan mengedepankan keadilan restoratif dalam memutuskan suatu perkara diapreasi Komisi Kejaksaan (Komjak). Anggota Komjak Muhammad Ibnu Mazjah mengatakan, langkah ditempuh Kejaksaan ini tidak bertentangan dengan hukum. Melainkan menurut Ibnu seiringan dengan hukum secara konsepsional maupun teoritis."Dasarnya adalah kedudukan daripada Kejaksaan sebagai asas dominus litis artinya dia adalah sebagai pemilik perkara atau pengendali perkara," kata Ibnu saat dihubungi merdeka.com, Jumat (11/3).
Ibnu menjelaskan, Kejaksaan sebagai pemilik atau pengendara perkara memiliki kewenangan menentukan suatu kasus layak atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan. Kewenangan Jaksa itu sesuai Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Keputusan Kejaksaan mengutamakan keadilan restoratif dalam memutuskan suatu perkara juga dinilai Ibnu tak menjadi preseden buruk penegakan hukum di tanah. Dia meyakini tersangka yang sudah dihentikan perkaranya oleh Kejakaan bakal jera melakukan tindakan kejahatan.
Dalam mengedepankan keadilan restoratif pun sudah ditegaskan bahwa pelaku yang terlibat baru satu kali berperkara. Ibnu mengatakan, upaya keadilan restoratif juga juga merupakan ciri khas masyarakat Indonesia yang berlandaskan Pancasila. Artinya segala sesuatu persoalan dicarikan solusi tidak serta berujung kepada proses pengadilan. Dengan catatan penerapan restorative justice dilakukan Kejaksaan itu terus dimonitor dari tingkat bawah hingga pimpinan agar mencegah transaksional.
"Justru dalam hal ini Jaksa berusaha menggali hukum yang hidup di masyarakat layak atau tidak nih ke pengadilan. Penegakan hukum yang dilakukan itu bisa lebih berkualitas bukan perkara yang sifatnya remeh temeh sehingga perkara di pengadilan juga tidak numpuk," kata dia.(MERDEKA)
0 Komentar